[ Jum'at, 25 Juli 2008 ]
SLEMAN - Mantan pilot Garuda Indonesia, Marwoto Komar, akhirnya duduk di kursi terdakwa. Pria 45 tahun itu dianggap bersalah karena tidak mengikuti prosedur pendaratan sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat Garuda GA-200 di landasan Bandara Adisutjipto, Jogjakarta, 7 Maret 2007. Dalam peristiwa nahas itu, 21 penumpang meninggal dunia dan 36 luka-luka.
Sidang Marwoto memicu kontroversi sekaligus menorehkan sejarah dalam dunia penerbangan. Sebab, Marwoto dianggap satu-satunya pilot di tanah air, bahkan mungkin dunia, yang diadili karena kecelakaan penerbangan sipil. Sebelumnya, ada mantan pilot -juga dari Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto- yang disidang, tetapi dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.
Sidang Marwoto digelar kali pertama di PN Sleman kemarin (24/7). Dalam surat dakwaan setebal 47 halaman, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Marwoto sengaja melawan hukum dengan cara menghancurkan pesawat dan menyebabkan orang meninggal.
JPU juga membeberkan, Marwoto tidak mengindahkan saran kopilot Gagam Saman yang sudah menghitung ketinggian dan kecepatan angin untuk pendaratan sesuai
standard operational procedure (SOP).
Menurut JPU, pesawat seharusnya
landing saat berjarak 12 mil dari landasan dan pada ketinggian empat ribu kaki. ''Tapi, saat itu pesawat masih berada pada ketinggian lima ribu kaki,'' ujar JPU dalam dakwaannya. Tim JPU beranggota Mudim Aristo, Jamin Susanto, dan Joko Purwanto.
Sesuai dengan SOP, lanjut JPU, apabila masih berada pada ketinggian tersebut, pesawat seharusnya memutar lagi. Namun, terdakwa memaksakan untuk
landing menukik tanpa mengikuti saran kopilot. ''Terdakwa dengan sengaja tidak mematuhi persyaratan pendaratan sesuai SOP sehingga ketika roda menyentuh landasan, kecepatan pesawat 221 knot, yang seharusnya 140 knot. Akibatnya, terjadi kelebihan kecepatan 81 knot,'' beber JPU. Tak pelak, pesawat pun mengalami kecelakaan.
Akibat perbuatan tersebut, Marwoto dijerat pasal berlapis dan tiga dakwaan alternatif. Yaitu, pasal 479 huruf a dan b serta pasal 359 dan 360 KUHP dengan ancaman hukuman seumur hidup.
Marwoto yang berseragam dinas pilot, kemeja putih dan bercelana hitam, terlihat tenang menyimak pembacaan surat dakwaan. Dua lengannya dibiarkan menyiku pada sandaran kursi terdakwa. Dia sesekali memejam sembari mengatupkan mulut seolah ingin mengusir rasa tegang.
Dalam sidang, Marwoto didampingi pengacara Mohammad Assegaf dan Muchtar Zuhdi. Istri Marwoto, Noorman Andriani, maupun koleganya dari Asosiasi Pilot Garuda (APG) juga datang memberikan
support.
Sidang Marwoto juga diliput sejumlah media asing. Bahkan, media dari Australia ikut menyiarkan langsung jalannya sidang.
Di akhir sidang, tim pengacara Marwoto meminta waktu 10 hari menyusun eksepsi. ''Kami minta waktu, ini
kan perkara serius,'' kata Assegaf. Majelis hakim yang diketuai Herri Swantoro mengabulkan permintaan tersebut dan menetapkan sidang digelar lagi 4 Agustus 2008. Herri meminta Marwoto tetap kooperatif karena tidak ditahan.
Setelah sidang, Marwoto menegaskan tidak bersalah dalam kasus tersebut. Sedangkan Assegaf menyatakan keberatan karena kliennya didakwa menggunakan KUHP. ''Ketentuan pada undang-undang penerbangan
kan sudah ada,'' jelas Assegaf.
Ketua APG Stefanus Geraldus mengatakan, kedatangannya bersama teman-temannya diharapkan bisa membesarkan hati Marwoto. ''Ini sebagai bentuk dukungan moril kami kepada teman kami Marwonto,'' jelasnya.
Tidak Akui Uni EropaDari Jakarta, tiga orang utusan negara-negara Uni Eropa (UE) menemui Menteri Perhubungan (Menhub) Jusman Syafii Djamal terkait kondisi penerbangan di tanah air. Mereka datang tidak membawa kabar gembira, tetapi justru membuat jengkel Menhub. Maklum, mereka mengabarkan bahwa larangan terbang maskapai Indonesia di kawasan udara UE belum dicabut.
''Larangan terbang ini bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga
airlines di negeri kami. Tidak sesuai standar ICAO (International Civil Aviation Organization) akan di-
banned (larang),'' ujar Charge'de Affair European Union Pierre Philipe di gedung Dephub kemarin. Menurut dia, jika masalah itu dianggap sebagai bentuk hambatan dalam perdagangan kedua negara, Indonesia dipersilakan melapor ke WTO (World Trade Organization).
Pierre mengatakan, pihaknya telah mendengarkan presentasi dari pemerintah Indonesia dan tiga maskapai yang diprioritaskan. Yaitu, Garuda Indonesia, Mandala Airlines, dan Airfast. Namun, itu semua tidak cukup. UE masih menggangap otoritas di Indonesia tidak cukup kuat mengawasi seluruh maskapai penerbangan di Indonesia. ''Kalau maskapai penerbangan sudah baik, bisa saja besok kita cabut (larangan). Tapi, ini otoritasnya juga kurang," ungkapnya.
Sementara itu, Menhub Jusman mengaku kecewa larangan terbang yang dikeluarkan setahun lalu itu belum juga dicabut. Menhub mengancam tidak akan menandatangani semua bentuk perjanjian yang berkaitan dengan Uni Eropa. ''Selama mereka tidak cabut
banned-nya, selama itu Menhub tidak akan tanda tangani segala bentuk kerja sama antara Indonesia dan Uni Eropa,'' tegasnya.
Ditanya mengenai larangan terbang bagi maskapai Eropa, Menhub menegaskan bukan soal berani atau tidak berani. Tapi, menurut dia, Indonesia selalu percaya dengan
open sky (penerbangan terbuka). Jika dia melarang maskapai Eropa masuk ke wilayah Indonesia, itu berarti Indonesia melakukan isolasi. ''Kita hanya tekankan kerja sama di antara negara-negara Belanda dan Prancis. Tapi, kalau dia mengatasnamakan Uni Eropa, tidak,'' tukasnya.
Menhub menuturkan, akibat larangan terbang dari Eropa, berbagai negara turut meragukan kualitas penerbangan di Indoensia. Di antaranya, Jepang, Korea, Saudi Arabia, dan Australia. Negara-negara itu datang untuk melakukan audit terhadap otoritas maupun maskapai penerbangan di Indonesia. Mereka cukup meminta izin dan pemerintah mempersilakan. ''Tapi, Uni Eropa tidak menggunakan pendekatan seperti itu. Padahal, itu akan respons yang baik," lanjutnya.
Uni Eropa seenaknya menjatuhkan sanksi terhadap penerbangan di suatu negara. Mereka hanya melakukan pertemuan tiga bulan sekali, mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk menentukan maskapai mana yang aman dan mana yang tidak, kemudian diumumkan. ''Sekarang mereka menggunakan alasan (penerbangan) kita tidak sesuai standar ICAO. Tapi, setelah itu, kita lantas kerja sama dengan ICAO untuk penuhi semua,'' tuturnya.
Dari seluruh item audit penerbangan ICAO tersebut, Menhub menyebutkan, ada 69 item yang mesti dipenuhi. Namun, hingga saat ini Indonesia hanya memenuhi 61 item. Sementara sisanya belum dilaksanakan karena harus marujuk kepada revisi undang-undang. Meski ICAO menganggap sudah cukup melakukan
corrective action, Uni Eropa menilai belum. ''Mereka ingin bukti. Kalau itu membutuhkan undang-undang, dia tanya UU-nya sudah jadi belum," cetusnya.
Dirjen Perhubungan Udara mengatakan, beberap item yang belum dipenuhi dari audit ICAO, antara lain, adanya pemisahan tegas antara regulator dan operator. Misalnya, dalam Angkasa Pura I dan II dan jaminan Dirjen Udara (otoritas penerbangan) lebih independen dan otonom. Hal itu menunggu keluarnya Undang-Undang Penerbangan ''Targetnya tahun ini selesai. Kita lihat saja apakah mereka cabut larangan kalau kita sudah
comply dengan ICAO," jelasnya.
(lin/wir/agm)
Dikutip dari Harian Jawa Pos